Botol Limun Rumi Dan Beha Merah Yulia: Aach... Aku Jatuh Cinta
Ditulis oleh Sekar Manik Pranita
(Rumi dan Yulia)
“Bertemu
kamu seperti bertemu bom yang sumbunya menyala. Tetapi kuputuskan ku simpan bom
itu di dalam saku-ku. Berdetak bersama jantungku. Maka jika meledak. Bom itu
akan meledak bersama cintaku yang menjadi pijaran kembang api dilangit yang
melukiskan kisah cinta.” – Yulia.
Aach.. Aku Jatuh Cinta, merupakan rangkaian karya yang menandai hadirnya
Garin Nugroho selama tiga dekade. Setelah berkutat dengan isu-isu sosial politik,
Garin mempunyai tawaran yang lain dalam karya barunya. Dari judulnya saja kita
pasti akan tau, Garin akan menyajikan drama percintaan. Lagi-lagi, ini seorang
Garin Nugroho yang karya-karyanya sulit dicerna, apalagi selepas hiatus dari
drama percintaan, karyanya 26 tahun lalu Cinta
dalam Sepotong Roti (1990).
Puisi Hidup
Adegan pertama film
ini dibuka oleh Yulia, membacakan ‘puisi hidupnya’ di masa lampau.
Dituliskannya bahwa ia sekarang ada di tahun 1990. Adegan flashback pun dimulai. Perpindahan waktu dibuat selembut mungkin,
dua puluh tahun yang lalu dibuat seakan masih sangat melekat diingatan Yulia. Tahun
70-an, dimana Yulia dan Rumi adalah teman sekaligus tetangga. Sejak kecil Rumi
memang sudah tertarik dengan Yulia. Rumi adalah anak seorang pengusaha limun
botolan dengan perangai nakal dan sering menggoda Yulia. Alasan inilah yang
membuat ibu Yulia melarang Yulia bergaul dengan Rumi. Sedangkan Yulia,
blasteran, anak seorang ahli reparasi radio
–kala itu radio merupakan barang mewah– dengan banyak pelanggan.
Narasi Yulia
membacakan ‘puisi hidupnya’ cukup membantu memberikan transisi dari era 70-an
ke 80-an. Konflik dalam keluarga masing-masing menjadi sorotan. Ditunjukkan
melalui pergeseran radio ke televisi, seolah menjadi hal penting dalam perjalanannya,
iklan dalam televisi menjadi awal mula kemarahan ayah Rumi. Pabrik limun
botolannya terancam bangkrut akibat masuknya produk konsumsi di Indonesia. Begitu
juga dengan keluarga Yulia, usaha reparasi radio milik ayahnya sepi. Ayah Yulia
selingkuh dengan salah satu pelanggannya. Memutuskan untuk keluar dari rumah
karena menurutnya zaman sudah berubah, it’s
over, dalam dialognya. Hanya Garin yang bisa membuat perpisahan
suami-isteri se-enteng ini.
Waktu terus
berjalan, kisah Rumi dan Yulia semakin kacau setelah keluarganya berantakan.
Berangkat dari hilangnya kasih sayang yang utuh dari orangtuanya, mereka
sama-sama mencari namun tak kunjung beretemu. Akibatnya, timbul rasa enggan
saling percaya. Hanya saling mengirim kata puitis melalui botol limun pabrikan
ayah Rumi tanpa sanggup menyatakan.
Puisi cinta
paling kacau ketika Rumi dan Yulia sparing
judo di bangku SMA. Seperti biasa, Rumi selalu merayu dan Yulia merajuk. Rumi
mengalahkan Yulia dengan membantingnya kebawah. Entah bagaimana caranya, beha
merah cabai Yulia sudah ada ditangan Rumi. Beha ini juga menjadi barang yang
mengacaukan kisah mereka berdua di masa depan.
(Rumi saat kericuhan 1998 dengan membawa botol limun)
Memodernkan Retro
Hubungan mereka
unik, puitis, penuh tragedi dan komedi. Seolah turut mengiringi kisah asmara
keduanya, Garin menempatkan budaya populer kala itu sebagai sentral. Perubahan zaman
dituturkan melalui gaya rambut, pakaian, musik dan social culture. Semua itu digarap dengan maksimal dan masuk kedalam
frame sinematografi yang indah. Walaupun berkisah di masa lampau Garin seolah
tidak ingin dianggap membuat karya yang lebay
dan norak. Dengan visual yang di
dukung berbagai elemen, film ini ingin membangun penonton mengikuti perjalanan
lintas waktu Rumi dan Yuli.
Perubahan gaya
berpakaian dan penanda umur dihadirkan melalui celana cut bray, potongan rambut
kribo atau rambut gondrong ala-ala anak band dan warna-warni baju ngejreng khas
70-80an. Musik retro dengan sentuhan sineamtografi yang apik sukses menjadi latar belakang. Didukung dengan setting, mulai
dari rumah, sekolah hingga stasiun, semuanya mendukung kisah Rumi dan Yuli. Dengan
simbol-simbol yang menjadi ciri khas Garin, bahasa memiliki sifat dinamis yang
akan selalu berubah di sesuai dengan apa yang disepakati pada era itu. Terasa
sekali melalui dialog-dialog yang dilantunkan Rumi dan Yulia.
Walaupun dirasa jadul dan lawas, lini masa film ini masih memiliki sentuhan masa kini, era
milenium. Bahasa yang digunakan terkadang masih lepas kendali. Gaya bertutur
Garin yang sangat kental dengan teaterikalnya dengan bahasa Indonesia yang baku
dan sangat puitis acap kali luput dan tercampur bahasa sehari-hari. Karena
bahasa yang digunakan memang hiperbol, kisah Rumi dan Yuli berhasil
menyampaikannya sebagai drama percintaan. Hanya sebatas itu. Penonton memang
benar-benar dibawa menikmati drama, bukan kisah nyata.
(Rumi saat sparing Judo dengan Yulia)
Ingatan yang Terdistorsi
Sejak montase
pembukaan ialah Yulia yang menuliskan ‘puisi hidupnya’ dalam sebuah buku.
Seolah bernostalgia dengan dirinya dan Rumi, tampak adegan-adegan yang seolah
tidak runut dan tidak tuntas. Hal ini boleh saja dianggap sebagai bagian dari
sifat ingatan Yulia sebagai manusia yang kerap terdistorsi. Mungkin begitulah
ingatan Garin tentang masa mudanya ditumpahkan dalam film dengan sajak-sajak
yang penuh romansa dan tragedi.
Botol-botol
limun milik keluarga Rumi terus muncul seolah menjadi tali yang mengikat
hubungannya dengan Yulia. Hingga beha merah cabai Yulia yang akhirnya menjadi
penyambung takdir mereka berdua. Jenaka! Puisi visual Rumi dan Yuli adalah
penanda bagaimana budaya dan kekuatan cinta yang bertahan dalam era yang
semakin berubah. Seiring melewati waktu yang tak pernah berhenti, Aach.. Aku Jatuh Cinta merupakan
kekacauan puisi terindah.
Tentang Penulis
Sekar Manik Pranita 14148159
Tentang Penulis
Sekar Manik Pranita 14148159
well done :)
BalasHapus