Ditulis oleh Dzaari Qolbii
Komodifikasi Visual Dalam
Film Guru Bangsa Tjokroaminoto
Guru Bangsa Tjokroaminoto Film yang disutradarai Garin Nugroho tidak hanya dinikmati sebagai
tontonan, namun patut pula diperhitungkan sebagai fenomena sosial. Film ini menceritakan
biografi salah satu tokoh perjuangan Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Dengan latar akhir tahun 1800-an film ini
membingkai tema politik Hindia Belanda, Tokoh Agama, hingga permasalahan sosial
menjadi bumbu penyedap. Jika kita berbicara Hindia-Belanda maka akan mengarah
pada atribut, jika kita berbicara atribut maka kita akan mengarah pada
komodifikasi. Saya melihat film ini tidak hanya membawa penonton kedalam garis
waktu era penjajahan, namun ada nilai-nilai lain yang coba dihadirkan untuk
dijadikan nilai tukar dalam film Guru
Bangsa Tjokroaminoto.
Film yang release pada tanggal 9 april 2015 ini menarik 130.558
penonton versi BPI. cukup disayangkan jumlah penonton yang hanya mencapai angka
seratus ribu, mengingat film ini menghadirkan beberapa aktor dan aktris kawakan
seperti Alex Komang, Sudjiwo Tedjo, Didi Petet, Christine Hakim, Reza
Rahardian, Chelsea Islan, Putri Ayudya. Tjokroaminoto yang diperankan oleh Reza
Rahadian, 4 Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik dirasa cukup selain
untuk memerankan sang Guru Bangsa. Namun jika dilihat dari sisi lain, upaya
tersebut bukan berarti bebas nilai. Sebab Film-film yang pernah diperankan oleh
Reza Rahadian dominan menghasilkan feedback
positif entah untuk penonton ataupun film itu sendiri, seperti My Stupid Boss, Habibie & Ainun,
Perempuan Berkalung Sorban. Namun dalam konteks dagang, kita harus mengakui
kalau penentuan aktor dan aktris populer terbilang cukup manjur untuk menarik
minat penonton lebih. Upaya yang dilakukan Garin Nugroho dalam menaruh Alex
Komang, Didi Petet, Reza Rahadian dan Chelsea Islan dalam satu frame memang
cukup jitu, mengingat kesenjangan era popularitas coba dimasukan kedalam
komodifikasi konten oleh Garin Nugroho.
Piala Citra untuk Pengarah Artistik Terbaik, Piala Citra untuk Penata
Busana Terbaik, Piala Citra untuk Pengarah Sinematografi Terbaik 2015. Dari
sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa Garin Nugroho mencoba memanjakan mata
penonton melalui konteks visual Dibantu sentuhan tangan Allan Triyana Sebastian,
Rahmat Syaiful, Retno Ratih Damayanti berhasil membawa film ini bernuansa Tahun
1800-an akhir. Bukan hanya dari segi visual, Secara bahasa para kolonial elit
Belanda juga menggunakan aksen dan
Bahasa Belanda.
Atribut Islam juga dihadirkan dalam film ini, dalam film ini
Tjokroaminoto memang memiliki ikatan kuat dalam menjalankan agama dan usahanya
dalam memperjuangkan suku bangsanya. Apalagi beberapa tokoh islam Hasan Ali
Surati yang diperankan oleh Alex Komang juga berusaha diangkat untuk menarik
minat penonton, terutama aktifis organisasi Islam.
Corak akhir yang menandai berakhirnya film ketika Tjokroaminoto telah
ditahan oleh para elits Belanda. Seperti
memperlihatkan sebuah tragedi besar untuk sebuah negara yang belum bernama
Indonesia. Singkatnya, romantisme,
optimise, nasionalisme film Guru Bangsa Tjokroaminoto cukup kuat mengulas
humanisme dalam era Tjokroaminoto kala itu.
Tentang Penulis
0 komentar: