Traveling Film : Sebuah Komoditi

00:06 Semut Nakal 14 0 Comments


Ditulis oleh Candra Adi Pratama
Indonesia terbilang cukup berpotensi tinggi dalam sektor pariwisata. Bagaimana tidak, Indonesia sendiri sudah diuntungkan dari kondisi letak dan geografis, tanah yang subur dan panorama, keanekaragaman flora dan faunanya. Kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti mereka yang meninggalkan rumah untuk mengadakan perjalanan tanpa mencari nafkah di tempat yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan mereka (Pendit, 2003:1). Jika dulu kita mengenalnya dengan istilah piknik, traveling adalah sebuah istilah yang kita kenal sekarang dalam dunia pariwisata. Giovan Francesco Gameli Careri merupakan orang pertama yang mempopulerkan kegiatan traveling. Pada tahun 1693 ia mulai berkeliling dunia unt­­­­­­­­­­­­uk berwisata. Ia telah mengarungi lautan Pasifik serta menjelajah Amerika Selatan dan Asia. Traveling atau bepergian merupakan salah satu cara kita untuk membuka wawasan dan memperluas pengetahuan dalam mengunjungi tempat baru atau tempat yang pernah kita kunjungi dengan mencoba berinteraksi dengan lingkungan sekitar.


 Dalam perkembangannya traveling mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2000-an. Saat ini traveling bukan hanya untuk mengisi liburan atau waktu senggang tapi telah menjelma menjadi gaya hidup. Tren bepergian menjadi suatu kebutuhan masyarakat saat ini. Gaya hidup menurut Kotler (2002; 192) adalah pola hidup sseseorang d dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Demikian format - format film yang ada di Indonesia. Sebelumnya di awal tahun 90-an produktivitas film Indonesia sempat menurun karena masalah ekonomi. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi yang melanda Indoensia, puncaknya pada penurunan nilai tukar rupiah tahun 1998. Film – film Hollywood menghegemoni perfilman tanah air. Film dalam negeri tidak mendapat tempat dan konten yang berbau dewasa menjadi komoditas untuk bisa bertahan di bioskop. Miles Films menjadi pendobrak untuk perfilman populer Indonesia. Pada akhir 1999, Miles Films membuat sebuah gebrakan untuk perfilman Indonesia, dimana saat itu pesimisme masyarakat Indonesia dengan perfilman dalam negeri yang dipandang sebelah mata.


 Muncul Petualangan Sherina pada tahun 2000 yang fenomenal. Film drama musikal anak untuk semua umur ini berlatar di daerah Kabupaten Bandung. Cerita dimulai ketika Ayah Serina berencana pindah ke Bandung untuk bekerja. Dari kota inilah pertemuan dengan Sadam sekaligus petualangan mereka dimulai. Mira Lesmana cukup cerdik dalam membaca situasi penonton di Indonesia. Pemilihan karakter yang menurut saya sangat tepat menjadi kunci keberhasilan dalam film. Membahas mengenai traveling tentunya kita berpikir tentang suatu tempat atau lokasi. Dalam film sebuah lokasi atau setting berperan penting dalam pembentuk cerita. Setting adalah latar bersama segala propertinya. Pemilihan setting, khususnya tempat untuk mendukung atau membangun sebuah suasana dalam film, dapat dikatakan sudah sangat baik dalam beberapa tahun belakangan ini. Contohnya dalam film Ada Apa Dengan Cinta? 2 garapan Riri Riza yang memilih Yogyakarta sebagai setting agar dapat membangun suasana cerita dengan baik.

Jika kita bicara mengenai ekonomi seperti lokasi di Bali, Bandung, ataupun Jogja merupakan daya tarik. Daya tarik ekonomi yang tidak hanya dirasakan oleh orang lokal, tetapi si pembuat film memang dengan sedemikian rupa memilih lokasi tersebut karena sudah tertata, pendekatan artistik-estetik-eksotik adalah bagian yang utama. Tentunya para pembuat film tidak hanya asal-asalan dalam menentukan sebuah setting lokasi untuk keperluan shooting. Pasti ada maksud dan tujuan tertentu. Pemerintah sendiri sedang menggalakkan pembangunan dengan kebudayaan dengan tujuan membangun identitas bangsa kita melalui film.  Vincent Moscow sendiri pun berpendapat bahwa komoditas pertama dari sebuah media yang paling pertama adalah konten media. Proses komodifikasi ini dimulai ketika peaku media mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju interpretasi manusia yang penuh makna hingga menjadi pesan yang marketable. Tetapi jika kita cermati lebih lanjut, sosial politik juga berperan, jika produser film memilih lokasi wisata, mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah lokal sebagai partner dalam hal birokrasi, urusan izin dan sebagainya, secara sosial, masyarakat yang sudah sadar wisata seperti Bali, Bandung, dan Jogja memiliki keterbukaan sehingga masyarakat dapat dilibatkan dan tidak dalam tanda petik mengganggu aktivitas shooting atau bahkan masyarakat ikut terlibat dalam proses pembuatan film.


Tentang Penulis
Candra Adi Pratama 14148160



0 komentar: